Dosen hukum pidana Fakultas Hukum Universitas Brawijaya (FH-UB), Fachrizal Afandi, S.Psi, SH, MH turut serta menyampaikan pandangannya dalam acara “The Berlin International Human Rights Congress (BIHRC). Kegiatan yang merupakan hasil kolaborasi Institute for Cultural Democracy (ICD) dengan beberapa lembaga seperti Amnesty International, Dubrovnik International University dan Romanian Foundation for Democracy ini dipusatkan di Ibukota Republik Federasi Jerman (RFJ), Berlin, Jum’at-Senin (1-4/10). Dalam kesempatan tersebut, fachrizal menyampaikan gagasannya melalui makalah bertajuk “De-radicalization of Terorism Prisoner: Building International Consensus for Treatment Under Human Rights”. Beberapa narasumber kunci yang turut hadir diantaranya H.E. Yasar Yakis (Mantan Menteri Luar Negeri Turki), Prof. Dr. Heiner Bielefeldt (staff PBB bidang Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan), Emil Constantinesceu (mantan Presiden Rumania). Selain itu, hadir pula perwakilan praktisi HAM dari Amnesty International, Centre for Human Rights Education Switzerland serta Democracy Reporting International dan Human Rights Watch. Sementara dari kalangan akademisi, hadir perwakilan dari Humboldt Universitaet Berlin, Frei Universitaet Berlin, University of Newcastle dan Utrecht University.
Fachrizal menambahkan, karena bertepatan dengan peringatan Reunifikasi Jerman ke-20 yang jatuh setiap 3 Oktober, maka pada sebuah sesi, acara ini dilangsungkan di dalam kantor DPR Jerman (Bundestag).
Dalam paparannya, ia menyampaikan beberapa masalah terkait penanganan kejahatan terorisme di Indonesia. Dari berbagai faktor yang melatarbelakangi kejahatan terorisme di berbagai negara, menurutnya penanganannya pun perlu dilakukan secara beragam pula. Memberikan contoh Indonesia, ia menyampaikan pola yang digunakan lebih banyak menggunakan cara-cara represif dan cenderung tidak menghargai HAM. “Beberapa orang yang masih dalam status terduga teroris, sebelum melalui proses hukum atau peradilan, harus menjemput maut dalam berbagai operasi yang dilakukan kepolisian”, terangnya. “Sementara sedikit dari mereka yang bisa ditahan setelah diproses oleh peradilan”, tambahnya. Catatan penting yang disampaikannya adalah perlu adanya pola penahanan yang bersifat khusus dengan melibatkan unsure lain seperti konseling dan pengawasan.
Ditambahkannya, pola pemidanaan yang selama ini dianut Indonesia harus diubah. “Kejahatan terorisme utamanya yang dilatarbelakangi militansi hanya dapat diberantas engan penanaman pemahaman yang moderat melalui diskusi-diskusi terbuka yang dilakukan di penjara”, katanya melalui email kepada PRASETYA Online langsung dari Berlin. Upaya ini, menurutnya merupakan bentuk deradikalisasi pemahaman yang diharapkan mampu mereduksi tingkat kejahatan terorisme.
Dalam forum tersebut, Prof. Dr. Anja Mihr dari Utrecht University menambahkan, agar bisa maksimal diperlukan transparansi atas segala upaya yang dilakukan negara dan identifikasi yang jelas terhadap jenis, pelaku dan korban terorisme. Hal inilah menurutnya, yang dilakukan Inggris terhadap IRA dan Spanyol terhadap ETA dalam menanggulangi kasus terorisme di negara mereka sehingga bisa menjadi model penanganan yang dinilai cukup berhasil. [zal/nok]